Iman
Kristen
Allah tidak pernah bertindak sesudah umat-Nya bergerak, sebab Allah
lebih dahulu menolong, memperhatikan, dan mendengar umat-Nya. Oleh karena itu, orang beriman
dalam hidup orang Kristen harus menyadari ke berpihak Allah kepada mereka
kemudian sebagai jawaban ditunjukkan dalam keterlibatan manusia dengan
melibatkan diri dalam pekerjaan-Nya.
Dikatakan orang Kristen yang beriman itu tidak cukup
hanya mengatakan bahwa dia beriman, tetapi harus ditunjukkan dalam perbuatan
baik dan berbelas kasihan (Luk. 10:29-37; Yoh. 2: 24-26) kepada sesama. Oleh
karena iman dalam diri orang percaya ditempa
dalam perjalanan hidupnya untuk mengenal perbuatan dan karya Allah dalam hidup
umat-Nya. Sepenuhnya dalam diri orang beriman “imanlah yang mengusai dirinya,
bukan orang itu yang menguasai iman”. Iman yang benar adalah iman yang
ditunjukkan dengan perbuatan baik, demikian juga dengan perbuatan baik yang
benar adalah perbuatan yang harus didasarkan atas iman.[1] Iman dan perbuatan tidak dapat dipisahkan dan
tidak boleh saling mendahului, karena iman dan perbuatan itu berada dalam satu
lingkaran. Oleh karena itu, orang Kristen
haruslah menjadi orang yang beriman. Maka yang dituntut bukan hanya percaya
saja, melainkan harus beriman sebagai orang percaya, supaya pemberitaan Allah
sebagai inisiator tidak sia-sia dalam kehidupan umat-Nya.[2]
Dalam hidup yang berada dalam pluralisme, iman orang Kristen harus
kokoh dan mempunyai sikap menerima perbedaan. Bukan berarti ikut mengimani apa
yang diimani oleh orang lain, tetapi menghargai atas apa yang mereka imani.
Orang Kristen harus berdiri pada tingkat yang sama dengan orang lain dan
memberi diri dibimbing oleh kebenaran Allah sendiri. Maka kehadiran orang yang
beriman sebagai orang Kristen bersama dengan orang lain mempunyai orientasi
kepada keselamatan dan kesejahteraan orang lain dan diri sendiri (Yer. 29:7).
Orang beriman dituntut menjadi orang yang terampil dimasa yang akan datang.
Karena jika tidak demikian, bagaimana caranya menolong orang lain dan menolong
diri sendiri. Kemudian orang Kristen sebagai orang beriman harus menjadi
pemikir Kristen yang tangguh dan dapat berfikir secara kritis.[3]
Dalam hidup manusia, seringkali mendekatkan diri pada Allah kala ada
derita atau pencobaan seperti penyakit. Kalau kita teliti lebih jauh, kondisi
yang demikian sungguh sesuatu yang patut disesalkan dalam keimanan kekristenan.
manusia seharusnya tetap mendekatkan diri kepada
Allah baik dalam keadaan susah maupun senang. Kalau diperhatikan dari segi kebutuhan dari orang yang datang
kepada Yesus, mereka datang kalau ada yang mereka butuhkan.[4]
Yesus menyembuhkan banyak orang sakit, namun perlu juga diketahui bahwa kuasa Yesus tidak terbatas
hanya untuk menyembuhkan yang sakit, bahkan lebih dari itu. Yesus juga
mempunyai otoritas yang lebih besar dari itu, yakni mengampuni dosa. Dalam
otoritas mengampuni dosa, ini sungguh sulit diterima oleh masyarakat yang ada
di tempat kala Yesus melakukan mujizat penyembuhan sekaligus pengampunan.
Orang-orang di situ yang kemungkinan besar berasal dari orang-orang ahli Taurat
berkata: “Dia menghujat Allah”. Perkataan ini muncul di kala Yesus berkata bahwa
dosa orang yang disembuhkan telah diampuni
(Mat. 9:3).[5]
Kalau ditelusuri lebih jauh dari segi ke-Yahudi-an, di mana ketika masa Yesus Kristus
berkarya, mereka belum bisa berterima akan kehadiran
Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan Allah. Bagaimana jika pada
masa kini, Seberapa jauhkah manusia telah meyakini akan kuasa Allah, apakah manusia masih berfikiran sama seperti orang Yahudi dahulu kala atau apakah manusia akan datang kepada Allah kala ada masalah? Secara garis
besar kebanyakan dari manusia akan menjawab bahwa manusia telah mengakui Yesus yang memiliki otoritas bukan hanya
menyembuhkan, tetapi lebih dari situ, Ia mampu melakukan apa saja sama seperti
Bapa-Nya.[6]
Namun kalau manusia mau mengakui, memang manusia sering lebih mendekatkan diri kala ada penderitaan.
Akankah pola pikir yang demikian akan tetap kita pertahankan? Melalui nas
Matius 9:1-8, manusia diingatkan, bahwa Yesus mampu mencukupi apa
yang manusia butuhkan bahkan yang paling dasar sekalipun,
yaitu mengampuni dosa-dosa manusia terlebih lagi dari pengorbanan-Nya dikayu salib.
Janganlah datang dikala ada masalah, tetapi hendaknya selalu dekat kepada Tuhan
bagaimanapun keadaannya.
1.1 Iman yang
Melahirkan Pengakuan adalah Identitas Kristen
Pengakuan iman orang Kristen adalah penetapan kepercayaan
secara individu yang tidak lepas dari Kristus yang adalah Tuhan dan Juruselamat
yang memberikan janji “pengharapan untuk hidup kekal”. Dalam Alkitab dan juga
dalam pemahaman teologi Kristen, iman tidak hanya pengiaan intelektual tetapi
juga percaya, komitmen hati dan kehendak, dan keyakinan. Inilah yang akan
ditunjukkan orang yang percaya itu dalam hubungan dengan Kristus dan terhadap
sesama manusia. Pengakuan iman (“percaya”) dapat diartikan sebagai kesaksian
iman yang konkret (Mat. 16:13-20),[7] yang ditunjukkan dalam perbuatan sebagai identitas dan
disebut sebagai pelaksanaan iman (Mat. 7:21). Dengan demikian untuk memahami
mengenai iman di dalam pengakuan ini, dimulai dari pengakuan iman Kristen
(pengakuan iman rasuli).
Tetapi pengakuan ini bukan bermaksud untuk mengatakan
bahwa keyakinan (iman) di luar Kristen itu tidak benar, karena tanggapan yang
demikian akan melahirkan iman yang fanatik.[8] Yang ingin disampaikan bahwa inilah iman yang seharusnya
dipahami dalam kekristenan. Karena dengan iman yang benar, manusia akan
menunjukkan identitasnya sebagai orang beriman di setiap saat dan di segala
tempat. Dengan kata lain iman yang sungguh-sungguh
akan dapat menentukan sikap dari orang yang beriman itu. Karena jika melihat kehidupan beragama sebagai orang
yang beriman sekarang, telah banyak pemahaman yang fanatik, menganggap agamanya
sendiri yang benar. Sebagai akibat dari pemahaman yang dangkal atas apa yang
diimani.
1.2 Iman Mempersatukan Hidup Dalam Kasih
Gereja yang merupakan persekutuan orang percaya dibawa
kepada hidup yang baru di dalam Kristus.[9] Hidup komunitas yang bukan berasal dari individu manusia
sendiri, melainkan dari sang Penebus. Tanda dari persekutuan ini adalah iman
dan kasih yang ditumbuhkan Roh Kudus. Inilah kasih yang inklusif, bukan hanya
kepada orang Kristen, melainkan kasih yang universal kepada kemanusiaan. Dasar
dari kesatuan ini adalah kerajaan Allah yang tidak terbatas luasnya.[10] Jadi, iman bukan hanya diungkapkan melainkan harus
dijalani yang ditunjukkan dalam perbuatan sebagai pelaksanan iman (Mat. 7:21),
dan hidup dalam kasih.
Bagi orang Kristen iman dan kasih merupakan dua hal yang
berhubungan erat. Sebab ia menjadi satu dengan Allah, gembira dan kuat karena
percaya kepada Kristus, dengan tuntunan dari Roh Kudus. Dengan hubungan itulah,
orang beriman akan mengabdi kepada Allah dan akan terwujud dalam kesatuan dan
cinta kasihnya kepada sesama manusia.[11] Karena dalam iman yang dinyatakan adalah Allah yang
mengasihi dan memandu orang beriman itu untuk memberikan tanggapan kepada Allah
di dalam tindakan.[12] Maka iman tidak menyatukan kumpulan doktrin yang
abstrak, melainkan perpaduan antara komitmen bersama dan kesatuan antara
Kristus dan orang percaya. Itu merupakan respon dari keseluruhan manusia yang
percaya kepada Allah dalam Kristus. Dalam iman itulah manusia mempunyai
pengharapan, pengampunan dan menjadi satu dalam kasih.[13]
1.3 Iman sebagai
Petunjuk Hidup Kristen ditengah Pluralitas
Dalam bagian ini penulis ingin melihat bagaimanakah
pandangan orang Kristen sebagai orang yang beriman terhadap agama lain di
tengah situasi pluralis.
Dalam pandangan orang Kristen dengan pengakuan imannya kadang mempunyai
tanggapan keras kepada orang lain. Hal ini terjadi karena tanggapannya, agama
lain merupakan pemberotakan manusia terhadap Allah, atau penyelewengan dari
jalan Allah yang benar, sehingga selama mereka tidak percaya kepada Yesus
Kristus pintu keselamatan Allah tertutup bagi mereka.[14] Pandangan inilah yang akan menimbulkan sifat yang
fanatik, dan menunjukkan statusnya sebagai orang beriman yang tidak
sungguh-sungguh. Kemudian kasih yang
universal yang berasal dari Allah tidak dapat ditunjukkan kepada sesamanya.
Orang Kristen yang beriman harus dapat menguraikan imannya di tengah
pluralis itu (1 Ptr. 3:15). Kemudian dapat meneruskan isi imannya kepada orang
lain. Sehingga iman menjadi konkret dalam kehidupan pribadi dan kesaksian di
tengah perbedaan yang ada.[15] Untuk itulah solusi yang mungkin bisa dikatakan tepat
dan aktual pada saat ini adalah “dialog” dengan agama-agama dan aliran
kepercayaan lainnya. Dalam hal ini, orang beriman harus memiliki pengertian dan
saling menerima yang mencakup segala aspek kehidupan. Sehingga orang beriman
akan mampu menerima perbedaan, menghargai keyakinan orang lain, dan tetap
merealisasikan iman yang dimiliki.
Selain itu yang mungkin dapat ditunjukkan dan dilakukan
oleh orang beriman di tengah-tengah perbedaan itu adalah hidup bersahabat.
Hidup bersahabat yang dimaksud di sini adalah hidup bukan hanya dengan satu
komunitas orang percaya, tetapi kepada seluruh orang sebagai kasih yang
universal. Dalam hidup bersahabat inilah mungkin akan terlihat kebersamaan itu
dalam mencapai kedamaian. Hidup bersahabat ini juga perlu dikembangkan dalam
hidup orang beriman. Karena dalam persahabatan itu akan nyata perbuatan yang
diwujudkan oleh orang beriman.
Pertanyaan!
1. Apakah iman itu?
2. Bagaimanakah sikap kita sebagai orang Kristen memahami
iman di tengah-tengah masyarakat pluralitas?
3. Apakah kita sudah melakukan segala sesuatu dengan
menggunakan iman, jelaskan?
[1] Luther, Katekismus, Op. cit., hlm. 82-84
[2] Thomas H. Groome, Christian
Religious Education: Pndidikan Agama Kristen: Berbagi Cerita dan Visi Kita,
Jakarta: BPK-GM, 2010, hlm. 82-84
[3] Emmanuel Gerrit Singgih, Iman
dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2008, hlm.
70-71
[4] Luther, Kebebasan, Op. cit., hlm. 33-34
[5] Ken Blue, Authority to Heal, Texas: InterVarsity Press, 1987, hlm. 34-35.
[6] C. Groenen, Sejarah Dogma
Kristologi, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 40.
[8] Lih. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2006, hlm. 300. Iman harus bersifat sukarela,
tidak menuntut setiap aspek kepercayaan keagamaan adalah tidak pasti secara subjektif. Inilah
yang ditentang oleh Thomas Aquinas, ia mengatakan beriman/percaya menunjukkan
secara meyakinkan bahwa ia meyakini keberadaan Allah. Karena kita tidak
memutuskan untuk beriman dengan sewenang-wenang. Karena iman ditemukan dalam
kesadaran, atau cara mengetahuinya disebut dengan “pengalaman keagamaan, dan
wahyu”.
[9] Ibid., hlm. 454. Schleiermacher mengatakan bahwa,
pemeliharaan dari kasih yang universal itu merupakan akibat dari perjamuan
malam Tuhan yang mengambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus “mengakibatkan
semua orang percaya memastikan persekutuan mereka dalam Kristus” kemudian
diwujudkan dalam persekutuan kita satu sama lain. Sebagaimana Kristus
menyatukan setiap orang di dalam-Nya, maka manusia harus merasakan dirinya
dipersatukan dengan orang lain sebagai usaha kearah persatuan.
[12] Lih. J. Milburn
Thompson, Keadilan dan Perdamaian: Tanggung
jawab Kristiani dalam Pembangunan Dunia, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 326-327.
Orang-orang beriman itu akan bersekutu dan menuturkan cerita tentang Allah, dan
memahami relasi mereka dengan Allah (berteologi, beribadah kepada Allah, hidup
yang benar). Jadi hubungan manusia dengan Allah adalah inti dari kehidupan
manusia yang beriman.
[13] Alister E. Megrath, Christian Theology an Introduction, third
edition, USA: Blackwell
Publishers, 2001, hlm. 240.
[14] C. S. Song, Sebutkanlah Nama-nama Kami, Teologi Cerita
dari Perspek Asia, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar