Minggu, 16 September 2012

Iman Kristen


Iman Kristen

Allah tidak pernah bertindak sesudah umat-Nya bergerak, sebab Allah lebih dahulu menolong, memperhatikan, dan mendengar umat-Nya. Oleh karena itu, orang beriman dalam hidup orang Kristen harus menyadari ke berpihak Allah kepada mereka kemudian sebagai jawaban ditunjukkan dalam keterlibatan manusia dengan melibatkan diri dalam pekerjaan-Nya.
Dikatakan orang Kristen yang beriman itu tidak cukup hanya mengatakan bahwa dia beriman, tetapi harus ditunjukkan dalam perbuatan baik dan berbelas kasihan (Luk. 10:29-37; Yoh. 2: 24-26) kepada sesama. Oleh karena iman dalam diri orang percaya ditempa dalam perjalanan hidupnya untuk mengenal perbuatan dan karya Allah dalam hidup umat-Nya. Sepenuhnya dalam diri orang beriman “imanlah yang mengusai dirinya, bukan orang itu yang menguasai iman”. Iman yang benar adalah iman yang ditunjukkan dengan perbuatan baik, demikian juga dengan perbuatan baik yang benar adalah perbuatan yang harus didasarkan atas iman.[1] Iman dan perbuatan tidak dapat dipisahkan dan tidak boleh saling mendahului, karena iman dan perbuatan itu berada dalam satu lingkaran. Oleh karena itu, orang Kristen haruslah menjadi orang yang beriman. Maka yang dituntut bukan hanya percaya saja, melainkan harus beriman sebagai orang percaya, supaya pemberitaan Allah sebagai inisiator tidak sia-sia dalam kehidupan umat-Nya.[2]
Dalam hidup yang berada dalam pluralisme, iman orang Kristen harus kokoh dan mempunyai sikap menerima perbedaan. Bukan berarti ikut mengimani apa yang diimani oleh orang lain, tetapi menghargai atas apa yang mereka imani. Orang Kristen harus berdiri pada tingkat yang sama dengan orang lain dan memberi diri dibimbing oleh kebenaran Allah sendiri. Maka kehadiran orang yang beriman sebagai orang Kristen bersama dengan orang lain mempunyai orientasi kepada keselamatan dan kesejahteraan orang lain dan diri sendiri (Yer. 29:7). Orang beriman dituntut menjadi orang yang terampil dimasa yang akan datang. Karena jika tidak demikian, bagaimana caranya menolong orang lain dan menolong diri sendiri. Kemudian orang Kristen sebagai orang beriman harus menjadi pemikir Kristen yang tangguh dan dapat berfikir secara kritis.[3]
Dalam hidup manusia, seringkali mendekatkan diri pada Allah kala ada derita atau pencobaan seperti penyakit. Kalau kita teliti lebih jauh, kondisi yang demikian sungguh sesuatu yang patut disesalkan dalam keimanan kekristenan. manusia seharusnya tetap mendekatkan diri kepada Allah baik dalam keadaan susah maupun senang. Kalau diperhatikan dari segi kebutuhan dari orang yang datang kepada Yesus, mereka datang kalau ada yang mereka butuhkan.[4]
Yesus menyembuhkan banyak orang sakit, namun perlu juga diketahui bahwa kuasa Yesus tidak terbatas hanya untuk menyembuhkan yang sakit, bahkan lebih dari itu. Yesus juga mempunyai otoritas yang lebih besar dari itu, yakni mengampuni dosa. Dalam otoritas mengampuni dosa, ini sungguh sulit diterima oleh masyarakat yang ada di tempat kala Yesus melakukan mujizat penyembuhan sekaligus pengampunan. Orang-orang di situ yang kemungkinan besar berasal dari orang-orang ahli Taurat berkata: “Dia menghujat Allah”. Perkataan ini muncul di kala Yesus berkata bahwa dosa orang yang disembuhkan telah diampuni (Mat. 9:3).[5]
Kalau ditelusuri lebih jauh dari segi ke-Yahudi-an, di mana ketika masa Yesus Kristus berkarya, mereka belum bisa berterima akan kehadiran Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan Allah. Bagaimana jika pada masa kini, Seberapa jauhkah manusia telah meyakini akan kuasa Allah, apakah manusia masih berfikiran sama seperti orang Yahudi dahulu kala atau apakah manusia akan datang kepada Allah kala ada masalah? Secara garis besar kebanyakan dari manusia akan menjawab bahwa manusia telah mengakui Yesus yang memiliki otoritas bukan hanya menyembuhkan, tetapi lebih dari situ, Ia mampu melakukan apa saja sama seperti Bapa-Nya.[6]
Namun kalau manusia mau mengakui, memang manusia sering lebih mendekatkan diri kala ada penderitaan. Akankah pola pikir yang demikian akan tetap kita pertahankan? Melalui nas Matius 9:1-8, manusia diingatkan, bahwa Yesus mampu mencukupi apa yang manusia butuhkan bahkan yang paling dasar sekalipun, yaitu mengampuni dosa-dosa manusia terlebih lagi dari pengorbanan-Nya dikayu salib. Janganlah datang dikala ada masalah, tetapi hendaknya selalu dekat kepada Tuhan bagaimanapun keadaannya.

1.1    Iman yang Melahirkan Pengakuan adalah Identitas Kristen
Pengakuan iman orang Kristen adalah penetapan kepercayaan secara individu yang tidak lepas dari Kristus yang adalah Tuhan dan Juruselamat yang memberikan janji “pengharapan untuk hidup kekal”. Dalam Alkitab dan juga dalam pemahaman teologi Kristen, iman tidak hanya pengiaan intelektual tetapi juga percaya, komitmen hati dan kehendak, dan keyakinan. Inilah yang akan ditunjukkan orang yang percaya itu dalam hubungan dengan Kristus dan terhadap sesama manusia. Pengakuan iman (“percaya”) dapat diartikan sebagai kesaksian iman yang konkret (Mat. 16:13-20),[7] yang ditunjukkan dalam perbuatan sebagai identitas dan disebut sebagai pelaksanaan iman (Mat. 7:21). Dengan demikian untuk memahami mengenai iman di dalam pengakuan ini, dimulai dari pengakuan iman Kristen (pengakuan iman rasuli).
Tetapi pengakuan ini bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa keyakinan (iman) di luar Kristen itu tidak benar, karena tanggapan yang demikian akan melahirkan iman yang fanatik.[8] Yang ingin disampaikan bahwa inilah iman yang seharusnya dipahami dalam kekristenan. Karena dengan iman yang benar, manusia akan menunjukkan identitasnya sebagai orang beriman di setiap saat dan di segala tempat. Dengan kata lain iman yang sungguh-sungguh akan dapat menentukan sikap dari orang yang beriman itu. Karena jika melihat kehidupan beragama sebagai orang yang beriman sekarang, telah banyak pemahaman yang fanatik, menganggap agamanya sendiri yang benar. Sebagai akibat dari pemahaman yang dangkal atas apa yang diimani.

1.2    Iman Mempersatukan Hidup Dalam Kasih
Gereja yang merupakan persekutuan orang percaya dibawa kepada hidup yang baru di dalam Kristus.[9] Hidup komunitas yang bukan berasal dari individu manusia sendiri, melainkan dari sang Penebus. Tanda dari persekutuan ini adalah iman dan kasih yang ditumbuhkan Roh Kudus. Inilah kasih yang inklusif, bukan hanya kepada orang Kristen, melainkan kasih yang universal kepada kemanusiaan. Dasar dari kesatuan ini adalah kerajaan Allah yang tidak terbatas luasnya.[10] Jadi, iman bukan hanya diungkapkan melainkan harus dijalani yang ditunjukkan dalam perbuatan sebagai pelaksanan iman (Mat. 7:21), dan hidup dalam kasih.
Bagi orang Kristen iman dan kasih merupakan dua hal yang berhubungan erat. Sebab ia menjadi satu dengan Allah, gembira dan kuat karena percaya kepada Kristus, dengan tuntunan dari Roh Kudus. Dengan hubungan itulah, orang beriman akan mengabdi kepada Allah dan akan terwujud dalam kesatuan dan cinta kasihnya kepada sesama manusia.[11] Karena dalam iman yang dinyatakan adalah Allah yang mengasihi dan memandu orang beriman itu untuk memberikan tanggapan kepada Allah di dalam tindakan.[12] Maka iman tidak menyatukan kumpulan doktrin yang abstrak, melainkan perpaduan antara komitmen bersama dan kesatuan antara Kristus dan orang percaya. Itu merupakan respon dari keseluruhan manusia yang percaya kepada Allah dalam Kristus. Dalam iman itulah manusia mempunyai pengharapan, pengampunan dan menjadi satu dalam kasih.[13]

1.3    Iman sebagai Petunjuk Hidup Kristen ditengah Pluralitas
Dalam bagian ini penulis ingin melihat bagaimanakah pandangan orang Kristen sebagai orang yang beriman terhadap agama lain di tengah situasi pluralis.
Dalam pandangan orang Kristen dengan pengakuan imannya kadang mempunyai tanggapan keras kepada orang lain. Hal ini terjadi karena tanggapannya, agama lain merupakan pemberotakan manusia terhadap Allah, atau penyelewengan dari jalan Allah yang benar, sehingga selama mereka tidak percaya kepada Yesus Kristus pintu keselamatan Allah tertutup bagi mereka.[14] Pandangan inilah yang akan menimbulkan sifat yang fanatik, dan menunjukkan statusnya sebagai orang beriman yang tidak sungguh-sungguh.  Kemudian kasih yang universal yang berasal dari Allah tidak dapat ditunjukkan kepada sesamanya.
Orang Kristen yang beriman harus dapat menguraikan imannya di tengah pluralis itu (1 Ptr. 3:15). Kemudian dapat meneruskan isi imannya kepada orang lain. Sehingga iman menjadi konkret dalam kehidupan pribadi dan kesaksian di tengah perbedaan yang ada.[15] Untuk itulah solusi yang mungkin bisa dikatakan tepat dan aktual pada saat ini adalah “dialog” dengan agama-agama dan aliran kepercayaan lainnya. Dalam hal ini, orang beriman harus memiliki pengertian dan saling menerima yang mencakup segala aspek kehidupan. Sehingga orang beriman akan mampu menerima perbedaan, menghargai keyakinan orang lain, dan tetap merealisasikan iman yang dimiliki.
Selain itu yang mungkin dapat ditunjukkan dan dilakukan oleh orang beriman di tengah-tengah perbedaan itu adalah hidup bersahabat. Hidup bersahabat yang dimaksud di sini adalah hidup bukan hanya dengan satu komunitas orang percaya, tetapi kepada seluruh orang sebagai kasih yang universal. Dalam hidup bersahabat inilah mungkin akan terlihat kebersamaan itu dalam mencapai kedamaian. Hidup bersahabat ini juga perlu dikembangkan dalam hidup orang beriman. Karena dalam persahabatan itu akan nyata perbuatan yang diwujudkan oleh orang beriman.
Pertanyaan!
1.      Apakah iman itu?
2.      Bagaimanakah sikap kita sebagai orang Kristen memahami iman di tengah-tengah masyarakat pluralitas?
3.      Apakah kita sudah melakukan segala sesuatu dengan menggunakan iman, jelaskan?



[1] Luther, Katekismus, Op. cit., hlm. 82-84
[2] Thomas H. Groome, Christian Religious Education: Pndidikan Agama Kristen: Berbagi Cerita dan Visi Kita, Jakarta: BPK-GM, 2010, hlm. 82-84
[3] Emmanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2008, hlm. 70-71
[4] Luther, Kebebasan, Op. cit., hlm. 33-34
[5] Ken Blue, Authority to Heal,  Texas: InterVarsity Press, 1987,  hlm. 34-35.
[6] C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 40.
[7] Dieter Becker, Op. Cit, hlm. 26.
[8] Lih. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2006, hlm. 300. Iman harus bersifat sukarela, tidak menuntut setiap aspek kepercayaan keagamaan  adalah tidak pasti secara subjektif. Inilah yang ditentang oleh Thomas Aquinas, ia mengatakan beriman/percaya menunjukkan secara meyakinkan bahwa ia meyakini keberadaan Allah. Karena kita tidak memutuskan untuk beriman dengan sewenang-wenang. Karena iman ditemukan dalam kesadaran, atau cara mengetahuinya disebut dengan “pengalaman keagamaan, dan wahyu”.
[9] Ibid., hlm. 454. Schleiermacher mengatakan bahwa, pemeliharaan dari kasih yang universal itu merupakan akibat dari perjamuan malam Tuhan yang mengambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus “mengakibatkan semua orang percaya memastikan persekutuan mereka dalam Kristus” kemudian diwujudkan dalam persekutuan kita satu sama lain. Sebagaimana Kristus menyatukan setiap orang di dalam-Nya, maka manusia harus merasakan dirinya dipersatukan dengan orang lain sebagai usaha kearah persatuan.
[10] Ibid., hlm. 453.
[11] W. J. Koiman, Op. Cit, hlm. 82.
[12] Lih. J. Milburn Thompson, Keadilan dan Perdamaian: Tanggung jawab Kristiani dalam Pembangunan Dunia, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 326-327. Orang-orang beriman itu akan bersekutu dan menuturkan cerita tentang Allah, dan memahami relasi mereka dengan Allah (berteologi, beribadah kepada Allah, hidup yang benar). Jadi hubungan manusia dengan Allah adalah inti dari kehidupan manusia yang beriman.
[13] Alister E. Megrath, Christian Theology an Introduction, third edition, USA: Blackwell Publishers, 2001, hlm. 240.
[14] C. S. Song, Sebutkanlah Nama-nama Kami, Teologi Cerita dari Perspek Asia, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 170.
[15] Dieter Becker, Op. Cit, hlm. 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar